Filum : Echinodermata
Kelas : Echinoidea
Subkelas : Euchinoidea
Ordo : Cidaroidea
Famili : Diadematidae
Genus : Diadema
Spesies : Diadema setosum
Subkelas : Euchinoidea
Ordo : Cidaroidea
Famili : Diadematidae
Genus : Diadema
Spesies : Diadema setosum
Bulu babi termasuk Filum Echinodermata, bentuk dasar tubuh segilima. Mempunyai lima pasang garis kaki tabung dan duri panjang yang dapat digerakkan. Kaki tabung dan duri memungkinkan binatang ini merangkak di permukaan karang dan juga dapat digunakan untuk berjalan di pasir. Cangkang luarnya tipis dan tersusun dari lempengan-lempengan yang berhubungan satu sama lain ( www.pipp.dkp.go.id)
Diadema setosum merupakan satu diantara jenis bulu babi
yang terdapat di Indonesia yang mempunyai nilai konsumsi (Azis 1993 dalam
Ratna 2002). Diadema setosum termasuk dalam kelompok echinoid beraturan
(regular echinoid), yaitu echinoid yang mempunyai struktur cangkang
seperti bola yang biasanya sirkular atau oval dan agak pipih pada bagian oral
dan aboral. Permukaan cangkang di lengkapi dengan duri panjang yang
berbeda-beda tergantung jenisnya, serta dapat digerakkan (Barnes 1987 dalam
Ratna 2002).
Berdasarkan bentuk tubuhnya, kelas Echinodoidea dibagi dalam dua subkelas
utama, yaitu bulu babi beraturan (regular sea urchin) dan bulu babi
tidak beraturan (irregular sea urchin) (Hyman 1955 dalam Ratna
2002), dan hanya bulu babi beraturan saja yang memiliki nilai konsumsi (Lembaga
Oseanologi Nasional 1973 dalam Ratna 2002). Tubuh bulu babi sendiri
terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian oral, aboral, dan bagian diantara oral
dan aboral (Lembaga Oseanologi Nasional 1973 dalam Ratna 2002). Pada
bagian tengah sisi aboral terdapat sistem apikal dan pada bagian tengah sisi
oral terdapat sistem peristomial. Lempeng-lempeng ambulakral dan
interambulakral berada diantara sistem apikal dan sistem peristomial. Di
tengah-tengah sistem apikal dan sistem peristomial termasuk lubang anus yang
dikelilingi oleh sejumlah keping anal (periproct) termasuk diantaranya
adalah keping-keping genital. Salah satu diantara keping genital yang berukuran
paling besar merupakan tempat bermuaranya sistem pembuluh air (waste
vascular system). Sistem ini menjadi cirri khas Filum Echinodermata,
berfungsi dalam pergerakan, makan, respirasi, dan ekskresi. Sedangkan pada
sistem peristomial terdapat pada selaput kulit tempat menempelnya organ “lentera
aristotle”, yakni semacam rahang yang berfungsi sebagai alat pemotong dan
penghancur makanan. Organ ini juga mampu memotong cangkang teritip, molusca
ataupun jenis bulu babi lainnya (Azis 1987 dalam Ratna 2002). Di sekitar
mulut bulu babi beraturan kecuali ordo Cidaroidea terdapat lima pasang insang
yang kecil dan berdinding tipis (Hyman 1955 dan Barnes 1987 dalam Ratna
2002).
Hewan
unik ini juga memiliki kaki tabung yang langsing panjang, mencuat diantara
duri-durinya. Duri dan kaki tabungnya digunakan untuk bergerak merayap di dasar
laut. Ada yang mempunyai duri yang panjang dan lancip, ada pula yang durinya
pendek dan tumpul. Mulutnya terletak dibagian bawah menghadap kedasar laut
sedangkan duburnya menghadap keatas di puncak bulatan cangkang. Makanannya
terutama alga, tetapi ada beberapa jenis yang juga memakan hewan-hewan kecil
lainnya (Nontji, 2005).
Pada
umumnya bulu babi berkelamin terpisah, dimana jantan dan betina merupakan
individu-individu tersendiri (gonochorik/dioecious). Spesies gonochorik secara
khusus memiliki rasio seks sendiri dan jarang bersifat hemafrodit. Munculnya
hemafrodoitisme pada Tripneustes gratilla adalah 1 dari 550 individu.
Pembelahan bulu babi terjadi secara eksternal, dimana sel telur dan sel sperma
di lepas ke dalam air laut di sekitarnya (Sugiarto dan Supardi 1995 dalam
Ratna 2002). Gonad jantan dan betina pada bulu babi juga sulit dibedakan tanpa
menggunakan mikroskop. Secara kasar hanya warna yang digunakan untuk membedakan
gonad. Misalnya pada bulu babi Paracentrotus livindus, gonad jantan
berwarna kuning sedangkan betina berwarna orange.
Dalam
penelitian Gunarto dan Setiabudi (2002) di perairan Pulau Barang Lompo,
Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, didapati ukuran bulu babi terbesar
memiliki kisaran tinggi cangkang 50-61 mm, diameter cangkang 86-94 mm, berat
total 148-331 g. Sedangkan ukuran bulu babi terkecil dengan ukuran tinggi
cangkang 27,2-36,4 mm, diameter cangkang 47,4-66,0 mm, dan berat total 41,4-110,9
g.
Bulu
babi termasuk organisme yang pertumbuhannya lambat. Umur, ukuran, dan
pertumbuhan tergantung kepada jenis dan lokasi. Chen dan Run (1988) dalam Tuwo
(1995) diacu dari Ratna (2002) melaporkan bahwa bulu babi jenis Tripeneuste
gratilla yang dipelihara di laboratorium di Taiwan mengalami metamorfos
pada umur 30 hari. Pertumbuhan Tripneustes gratilla sangat cepat pada
awal perkembangannya, tetapi jumlahnya terbatas. Hal ini diduga erat kaitannya
dengan banyaknya predator yang dialami oleh hewan berukuran kecil. Setelah
mencapai umur tertentu, cangkangnya sudah cukup kuat sehingga jumlah predator
yang dapat menyerang dan memecahkan cangkangnya berkurang. Bulu babi mempunyai
banyak predator, yaitu berbagai jenis ikan, termasuk hiu, anjing laut, lobster,
kepiting, dan gastropoda (Kenner 1992; Tegner dan Dayton 1981 dalam Tuwo
1995). Hal ini juga menyebabkan rendahnya densitas bulu babi. Predator utama
bulu babi jenis Diadema setosum adalah ikan Buntal (Tetraodon)
dan ikan Pakol (Balistes) yang mempunyai gigi yang kuat dan tajam yang
dapat mematahkan duri-duri dan mengoyak cangkang bulu babi (Nontji 2005).
Mortalitas bulu babi umumnya sangat tinggi (Ebert 1975 dalam Tuwo 1995).
Secara umum di alam bulu babi dapat mengalami kematian massal pada suhu 34-40˚
C .
Ü Habitat dan Penyebaran Bulu
Babi
Bulu babi hidup di ekosistem terumbu
karang (zona pertumbuhan alga) dan lamun. Bulu babi ditemui dari daerah
intertidal sampai kedalaman 10 m dan merupakan penghuni sejati laut dengan
batas toleransi salinitas antara 30-34 ‰ (Aziz 1995 dalam Hasan 2002). Hyman
(1955) dalam Ratna (2002) menambahkan bahwa bulu babi termasuk hewan
benthonic, ditemui di semua laut dan lautan dengan batas kedalaman antara
0-8000 m. Karena echinoide memiliki kemampuan beradaptasi dengan air payau
lebih rendah dibandingkan invertebrate lain. Kebanyakan bulu babi beraturan
hidup pada substrat yang keras, yakni batu-batuan atau terumbu karang dan hanya
sebagian kecil yang menghuni substrat pasir dan Lumpur, karena pada kondisi
demikian kaki tabung sulit untuk mendapatkan tempat melekat. Golongan tersebut
khusus hidup pada teluk yang tenang dan perairan yang lebih dalam, sehingga
kecil kemungkinan dipengaruhi ombak.
Dalam
penelitian Gunarto dan Setiabudi (2002) dilaporkan bahwa perkembangan gonad
bulu babi pada musim kemarau tidak dalam satu stadium, tetapi terdapat gonad
dlam periode berkembang, matang, pijah.
Ü Masa Hidup Bulu Babi
Bulu babi merah (Strongylocentrotus franciscanus) yang sejak lama
dianggap sebagai momok di lautan. Karena makan tumbuh-tumbuhan di bawah air dan
banyak orang yakin hewan inilah yang bertanggungjawab atas kerusakan ekosistem
laut. Tidak heran bila banyak orang berusaha meracuninya, ternyata dalam
penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa bulu babi merah tumbuh jauh lebih
lambat dari perkiraan semula, namun hidup lebih lama dibanding dugaan awal.
Mereka tidak sekedar mencapai umur tujuh hingga 15 tahun seperti diperkirakan,
tapi bisa mencapai 200 tahun lebih (www.kompas.com)
Lebih menarik lagi, hewan-hewan lanjut usia itu sama sekali tidak menunjukkan
tanda-tanda uzur. Menurut Dr Albert dalam kompas.com, walaupun mereka
bisa mati karena serangan hewan pemangsa, penyakit tertentu, atau ditangkap
nelayan, namun hewan-hewan ini tidak menunjukkan tanda-tanda ketuaan lanjut.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa bulu babi merah berusia 100 tahun tidak begitu
berbeda dengan yang berumur 10 tahun. Kenyataan mengindikasikan bahwa semakin dewasa bulu babi merah, maka makin
produktif mereka menghasilkan sperma dan telur. Hewan ini juga masih mampu
berkembang biak walau usianya sudah amat tua. Di antara hal-hal lain, data
radio karbon juga menunjukkan bulu babi merah memiliki pertumbuhan yang nyaris
tidak terlalu dipengaruhi kondisi laut dan variabel lain (www.kompas.com).
Analisis
terhadap genom bulu babi juga menunjukkan bahwa bulu babi memiliki sistem
kekebalan dan kepekaan gen yang unik dan kompleks. Kemiripan antara manusia dan
bulu babi yang memiliki jalur kekerabatan jauh dapat dijadikan model untuk
memahami proses evolusi. Dalam proyek genetika yang dilakukan di California, para
ilmuwan mengambil DNA dari sperma seekor bulu babi jantan California yang hidup
menyebar di pantai barat AS dari Baja hingga Alaska. Hasil identifikasi
menunjukkan ada 23.300 gen yang tersusun dari 814 juta kode DNA yang dimiliki
seekor bulu babi. George Weinstock dari Sekolah Kedokteran Baylor AS sebagai
pemimpin dalam proyek pengurutan DNA bulu babi menyatakan bahwa 70 persen gen
bulu babi ternyata memiliki kemiripan dengan manusia sementara pada lalat buah
hanya 40 persennya, dengan dua jenis filum yang berbeda. Melalui mekanisme ini
dapat menjelaskan mengapa hewan tersebut bisa bertahan hingga 100 tahun (www.kompas.com).
Pada penelitian Darsono dan Toso (1987) di perairan terumbu karang gugus Pulau
Pari, Pulau Seribu, Jakarta. Pengamat mengumpulkan 300 ekor bulu babi, yang
memiliki panjang diameter berkisar dari 47,30-94,00 mm dengan rata-ratanya
(64,50±7,90) mm. berat berkisar dari 55,40-325,00 gr dengan rata-rata
(134,20±43,00) gr. Hubungan panjang diameter (Lt, mm) dengan umur (t, bulan)
dikaji melalui persamaan Von Bertalanffy, seperti : . Hubungan penjang diameter (L, mm) dengan berat (W, gram) digambarkan
melalui persamaan adalah positif dengan nilai korelasi (r) sebesar 0,908. Persamaan ini
dikonversikan dengan Lt, maka akan menjadi kunci hubungan umur (t, bulan)
dengan berat (W, gram) digambarkan melalui persamaan
Ü Pemanfaatan Bulu Babi
Bagian dari bulu babi yang biasa
dimanfaatkan adalah gonad atau telurnya, baik gonad jantan maupun gonad betina.
Bulu babi beraturan mempunyai lima gonad yang tergantung sepanjang bagian dalam
interambulakral pada daerah aboral (Hyman 1955 dalam Ratna 2002).
Tergantung lingkungan dan faktor genetik, bulu babi muda dapat mencapai
kematangan seksual sekitar 1-2 tahun setelah beralih dari fase larva ke fase
juvenil. Trinidad-Roa (1989) dalam Setiabudi (1996) diacu dari Ratna 2002,
melaporkan bahwa Tripneutes gratilla dari Bali mengalami matang kelamin pertama
kali pada umur 2.5 tahun. Setelah itu produksi gonadnya menurun. Hal ini
ditemukan juga pada kelas echinoidea lainnya (Conand 1989 dalam Tuwo
1995 diacu dari Ratna 2002).
Gonad
yang matang berukuran sangat besar, mengisi ruang yang kosong diantara untaian
usus dan meluas mulai pertengahan aboral hingga mencapai lentera aristotle
(Hyman 1955 dalam Ratna 2002). Umumnya gonad yang matang bertekstur
lunak dan berlendir. Telur seperti ini tidak diinginkan sebagai produk
perikanan. Telur atau gonad yang dikehendaki adalah yang bertekstur kompak,
dimana kondisi ini terjadi pada saat fase pijah lanjut (Bernard 1977 dalam
Darsono 1986 diacu dari Ratna
2002).
Pemanenan
bulu babi sebaiknya dilakukan pada saat indeks kematangan gonad mencapai
maksimal atau sebelum musim pemijahan. Secara teoritis hewan yang boleh
ditangkap sebaiknya adalah yang pernah memijah minimal satu kali agar hewan
dapat berkembang biak sebelum tertangkap (Tuwo 1995 dalam Ratna 2002),
di California bulu babi merah (Strongylocentrotus fransciscanus) baru
dapat dipanen setelah berumur antara 5-8 tahun. Sedangkan di daerah Shetland
pemanenan Echinus esculentus biasanya dilakuka mulai akhir Desember
sampai akhir Februari, tepatnya sebelum musim pemijahan (Penfold dan Boyle 1996
dalam Ratna 2002). Berat bulu babi biasanya mencapai 25% dari total berat
tubuhnya, tergantung kepadatan populasi dan tersedianya cukup makanan di alam
(Darsono 1986 dalam Ratna 2002). Pemanenan sebaiknya tidak dilakukan
jika rata-rata persentase gonad masih dibawah 10% (Penfold dan Boyle 1996 dalam
Ratna 2002).
Sebagian
besar negara-negara di Amerika dan Eropa telah mulai mengembangkan budidaya
jenis ini. Meskipun dalam perkembangannya, terlihat jelas adanya perbedaan
mencolok antara produk tangkapan di laut dan telur dari hasil budidaya.
Perbedaan itu utamanya terletak pada warna dan tekstur telur yang dihasilkan.
Warna dan tekstur adalah dua faktor penentu dalam kualitas dan harga bulu babi.
Menurut Pearce dkk (2004) bahwa bulu babi yang diberi pakan buatan dapat
menghasilkan telur yang besar namun warna telur yang dihasilkan pucat (pale),
sementara warna telur bulu babi tangkapan alam jauh lebih kuning kemerahan. Hal
ini berpengaruh terhadap harga jual (www.beritaiptek.com).
Cangkang
dari jenis bulu babi tertentu dilapisi oleh pigmen cairan hitam yang stabil. Cairan
ini dapat digunakan sebagai pewarnaan jala dan kulit. Cangkang dari bulu babi
juga diminati sebagai barang perhiasan. Sedangkan organ dari sisa pengolahan
bulu babi biasanya berupa cangkang dan organ dalam (jeroan) dapat diproses
lebih lanjut menjadi pupuk (Zaitsev et al 1969 dalam Ratna 2002).
Umumnya
gonad bulu babi dijual dalam keadaan segar, karena memiliki nilai paling
tinggi. Beberapa kriteria kualitas gonad yang memengaruhi harga beli di
pelelangan adalah jenis, negara asal, warna, tekstur, ukuran, rupa, kesegaran,
dan rasa. Diantara kriteria tersebut warna, kesegaran dan negara asal merupakan
faktor terpenting dalam menentukan harga. Berdasarkan warnanya, mutu gonad bulu
babi dapat dikelompokkan menjadi mutu sangat baik (Grade A) dengan gonad
berwarna kuning atau orange terang, mutu baik (Grade B) dengan warna gonad
merah muda atau kuning pucat (krem) dan mutu jelek (reject) dengan gonad berwarna
coklat (Penfold dan Boyle 1996; Murniyati dan Setiabudi 1998 dalam Ratna
2002).
Ü Peranan Bulu Babi dalam Ekosistem Lingkungan
Selain
pemanfaatannya sebagai bahan pangan, biota ini juga sangat berperan dalam
kesetimbangan ekosistem habitatnya. Seperti peran Diadema antillarum bagi
terumbu karang diantaranya yaitu, peningkatan jumlah populasi jenis ini
mengakibatkan kematian larva atau karang muda. Bila populasinya turun (absence
grazing) karang akan ditumbuhi oleh alga yang dapat berakibat pada kematian
karang dewasa dan tidak adanya tempat bagi larva karang (www.terangi.or.id.)
Kehadiran populasi jenis ini penting bagi terumbu karang sebagai penyeimbang.
Kesetimbangan populasi Diadema antillarum akan menjaga kesetimbangan
populasi alga dan karang. Sedangkan kematian massal Diadema antillarum
berdampak pada penurunan drastis tutupan karang, menurunnya kehadiran
Invertebrata yang biasanya menetap di wilayah ini. Selain itu, terumbu karang
dapat didominasi oleh alga. Pada tahun 1995 ternyata ditemukan bahwa populasi Diadema
antillarum yang sangat sedikit (pemulihannya membutuhkan waktu lebih dari
10 tahun). Hilangnya induk menyebabkan jumlah larva juga sangat kurang. Meski
telah mulai ada pemulihan Diadema, namun belum dapat diketahui apakah
akan dapat mengembalikan terumbu karang yang hilang (www.terangi.or.id).
Kematian
massal bulu babi pernah terjadi pada tahun 1983-1984 di Pasifik Barat, yang
dimulai dari Panama di awal Januari 1983 yang menyebar ke Karibia, Teluk
Meksiko, Bahama, Bermuda dengan tingkat kematian mencapai 93-100%. Penyebabnya
tidak diketahui dengan jelas, namun diduga terinfeksi bakteri. Dampak kematian
bulu babi ini menyebabkan biomassa alga meningkat, karena makanan utama bulu
babi adalah alga coklat, alga hijau dan lamun (Lasker dan Giese 1952; Herring
1972; Chiu 1985 dalam Azis 1993 diacu dari Ratna 2002). Wilayah
perairan St. Croix mengalami peningkatan biomassa alga yang pesat hingga
400-500%, hanya berselang 5 hari setelah kematian bulu babi (www.terangi.or.id).
0 komentar:
Posting Komentar